• TEMUKAN SAYA DI FACEBOOK
    Ini sebagai bentuk pertemanan antara saya dan pengunjung semuanya, Trimakasih atas kunjungannya.

Monday, January 16, 2012

Pemakaman dan Persepsi Jati Diri Masyarakat Trunyan

Keunikan dari pemakaman yang terdapat di desa Terunyan-Kintamani memberikan daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang datang ke Bali. Pada kesempatan ini saya akan membagikan tentang proses pemakaman, pembagian makam menurut cara kematian dan umur jenasah, serta kepercayaan-kepercayaan dari masyarakat Trunyan terhadap persepsi jati diri.
Yang pertama dibahas yaitu proses pemakaman Menurut tradisi masyarakat Trunyan. Menurut tradisi yang ada kuburan di desa Trunyan dibagi dalam tiga klasifikasi berdasarkan umur orang yang meninggal, keutuhan jenasah dan cara penguburan.
  1. Kuburan yang pertama yang disebut Kuburan utama adalah kuburan yang dinggap paling suci dan paling baik. Jenasah yang dikuburkan pada kuburan suci ini hanyalah jenasah yang jasadnya utuh, tidak cacat, serta jenasah yang proses meninggalnya dianggap wajar, bukan kerena bunuh diri atau kecelakaaan. Di setra wayah ini, terdapat 7 liang lahat yang terbagi menjadi 2 kelompok. Dua liang untuk penghulu desa yang jenasahnya tanpa cacat terletak di bagian hulu dan sisanya lima liang berjejer untuk masyarakat biasa. Jika semua liang sudah penuh dan ada lagi jenasah baru yang akan dikubur, jenasah yang lama dinaikkan dari lubang dan jenasah barulah yang kemudian menempati liang tersebut. Jenasah lama ditaruh begitu saja di pinggir lubang. Jadi jangan kaget jika di setra wayah berserakan tengkorak-tengkorak manusia yang tidak ditanam maupun dibuang. 
  2. Kuburan yang kedua disebut kuburan muda, yang khusus diperuntutkan bagi bayi dan orang dewasa yang belum menikah. Namun tetap dengan syarat bahwa jenasah tersebut harus utuh dan tidak cacat. 
  3.  Sedangkan kuburan yang ke tiga disebut setra bantas, khusus untuk janasah cacat dan meninggal karena “salah pati” ataupun “ulah pati” (meninggal secara tidak wajar).
Dari ketiga jenis kuburan tersebut yang paling unik dan menarik adalah kuburan utama atau kuburan suci (setra wayah). Kuburan ini berlokasi di sekitar 400 meter di bagian utara desa dan dibatasi dengan tonjolan kaki tebing bukit. Untuk membawa jenasah ke kuburan ini harus menggaunakan sampan kecil khusus jenasah yang disebut Padau. Meski disebut dikubur, namun cara penguburannya tergolong unik, yaitu dikenal dengan istilah “Mapasah”.
Mapasah adalah penguburan Jenasah yang telah diupacarai menurut tradisi setempat, yang diletakkan begitu saja di atas lubang sederhana 20 cm. Sebagian badannya (dari bagian dada ke atas) dibiarkan terbuka tidak terkubut tanah. Jenasah tersebut hanya dibatasi dengan “ancak saji” yang terbuat dari anyaman bambu  berbentuk kerucut yang digunakan untuk memagari jenasah.
Selanjutnya masih dalam proses penguburan dan tempat pemakamanm, secara spesifik yaitu  terkait dengan kepercayaan orang trunyan tentang pemakaman jenasah menurut penyakit dan kematian yang meliputi:
  1. Meletakkan jenasah di atas tanah di bawah udara terbuka yang disebut dengan istilah “mapasah”. Orang orang yang dimakamkan dengan cara mapasah adalah mereka yang pada waktu matinya termasuk orang-orang yang telah berumah tangga, orang-orang yang masih bujang dan anak kecil yang gigi susunya telah tanggal. 
  2.  Sedangkan yang dikebumikan atau dikubur mereka yang cacat tubuhnya atau pada saat mati terdapat luka yang belum sembuh seperti misalnya terjadi pada tubuh penderita cacar, lepra, dan lain-lainnya. Orang-orang yan mati dengan tidak wajar seperti dibunuh atau bunuh diri juga dikubur. Anak-anak kecil yang gigi susunya belum tanggal juga dikubur saat meninggal.
Keunikan lain adalah peninggalan purbakala (Prasasti Trunyan. Tersebutlah pada tahun saka 823 (891 Masehi), Raja Singhamandawa mengizinkan penduduk  Turunyan (trunyan) membangun meru.  Meru berupa bangunan bertingkat tujuh ini merupakan tempat pemujaan Bhatara Dan Tonta. Meru bertingkat tujuh ini dinamakan Pura Turun Hyang. Di dalamnya tersimpan Arca batu Megalitik yang dipercaya dan disakralkan masyarakat Trunyan sebagai Arca Da Tonta. Dikenal pula sebagai Pura Pancerin Jagat sebagai istana Ratu Gede Pancering Jagat.
Bagian kedua dari pembahasan kali ini yaitu tentang kepercayaan Penduduk Trunyan dalam mempersepsikan diri dan jati diri mereka dalam dua versi. Persepsi tersebut yaitu :
  1. Versi pertama, orang Trunyan adalah orang Bali turunan, kerena mereka percaya bahwa leluhur mereka ‘turun’I langit ke bumi Trunyan. Terkait dengan versi ini orang Trunyan mempunyai dongeng suci mengenai asal-usul penduduk Trunyan adalah seorang Dewi dari Langit. 
  2. Versi Kedua, orang Trunyan hidup dalam system ekologi dengan adanya pohon taru menyan, yaitu pohon yang menyebarkan bau-bauan wangi. Dari perpaduan kata “Taru” dan “Menyan” berkembang kata Trunyan. Yang dipakai nama desa dan nama penduduk desa tersebut.
sumber:
Bali Aga, edisi 23 Desember s/d 29 Desember 2010 dengan beberapa editan.
0 Comments
Tweets
Komentar

No comments:

Post a Comment