
Ku ceritakan kejadian ini dengan mengingat
perih yang ku rasakan, membuka setumpuk sampah yang tersusun rapi dalam dada
ini. Terhitung enam bulan lalu dari sekarang, cerita ini mulai ada bibit untuk
berkembang dan tumbuh hingga sekarang. Ketika itu datang teman lama yang yahhh… sekedar mengunjungi
keberadaan teman yang lagi kebingungan mencari kebahagiaanya. Setelah lama
bicara-bicara, menanyakan kabar ehh malah nyambungnya ke pacar. Agak ragu untuk
menjawabnya, tapi ini lah sejujurnya “aku ga punya pacar”. Menjawab dengan muka
yang lumayan konyol isi hidup lagi… ahhh sungguh memalukan. Beruntung teman
lama ku ini yahhh bisa dikatakan agak baik.. hehe. Tibalah hal yang
ditunggu-tunggu, rangkain angka yang menunjukkan keberadaan orang
yang slalu aku puja 08579275XXXX dia berikan kepadaku.
yang slalu aku puja 08579275XXXX dia berikan kepadaku.
Malam setelah semua telah pulang, hanya
tinggal aku dan hp jadulku. Aku ketik rangkaian huruf yang tersusun manjadi
sebuah kata dan aku susun kata-kata itu menjadi sebuah kalimat perkenalan. Aku
ketik sebuah paragraf diapun menjawab dengan satu kalimat, aku ketik sebuah
kalimat dia menjawab dengan sebuah kata.
Yang terakhir aku ketik sebuah kata ehhh malah ga dibalas. Sungguh tragis
nasib ku malam itu. Eittssss… perjuangan ku belum berakhir, dengan percaya diri
esoknya aku sms dia begitupun berulang-ulang hingga tidak terhitung jumlah
kesabaranku.
Hari ini ketika otak kalut karna ujian akhir,
aku menjadi sensitive dengan hal di sekitarku. Sms ga dibalas yang mulanya
menjadi hal yang biasa, mulai terpikirkan oleh logika “ngapaen aku begini,
emang dia siapa?”. Dengan ketegasan dan juga pikiran yang kalut aku memutuskan
untuk berhenti berjuang mencari sms yang tidak dibalas.
Aku jalani hari seperti biasa, tanpa sms yang
tidak di balas olehnya. Itu terlihat agak berbeda dari biasanya walaupun
intinya sama saja tidak ada sms, namun tetap saja ada hal yang mengganjal dalam
hari-hariku. Aku berjalan tanpa tujuan yang pasti saai ini. Seperti perahu di
sungai, hanya mengikuti arus kemanapun arah air ini mengalir. Sejalan dengan
itu aku mulai terbisa, sedikit lupa namun masih tetap berharap sms itu ada
darinya. Lama ku tunggu, namun tetap tidak ada ceritaku yang mengalir seperti
kehendak dari otak ini.
Hampir terlupa bayangnya, hal yang tidak ku
tunggu lagi, tiba-tiba datang warnai hari ku. Dia nampak semakin dekat, dia
bercerita banyak hal tentang kehidupannya, meminta solusi, dan saling bertukar
pendapat seakan mulai warnai hidup ku. Walau hanya menjadi orang ketiga,
cukuplah untuk ku karena itu sudah perkembangan yang lumayan lambat... yaa
lambat buatnya menyadari bahwa aku mengaguminya.
Seiring sejalan sudah beberapa bulan berlalu,
tetap saja seperti itu hanya menjadi orang ke tiga serba tau. Semakin
mengenalnya semakin mengaguminya hanya itu yang bisa aku rasakan. Membuat dia
tersenyum buat diri ini sedikit lega walaupun sebenarnya senyumnya bukan
tertuju kepada ku. Tetap seperti ini, berdiri di atas rasa yang lama aku
pendam. Berusaha menahan agar aku tak terjatuh oleh rasa yang aku punya. Namun
diri ku tak sekuat itu, tak bisa menyimpan rasa yang seakan sesakkan dada. Akhirnya
aku ungkapkan semuanya di malam tanpa bintang, aku curahkan segala rasa yang
aku miliki kepadanya. Awalnya dia hanya menganggap itu canda ku, namun trus ku
coba untuk yakinkan kepadanya bahwa itu tulus dari hati ku.
Berlalu beberapa saat, suasana menjadi tidak
karuan antara serius, bercanda, dan rasa takut mulai hantarkan kami dalam malam
yang sangat tenang. Pukul 22.15 dia
menjawab apa yang ku pertanyakan dia menjawab “iya”. Tak menyangka dan tak tau
harus bagaimana ungkapkan rasa yang ku rasakan pada saat itu, sungguh tak
menyangka...
Malam itu terlewati dengan rasa tak karuan dan
akupun terbangun karnanya saat pagi menjelang. Perhatianku mulai ku tunjukkan,
setiap malam menjelang dia terlelap dalam tidur aku slalu sempatkan kirimkan
kata-kata yang menunjukkan rasa sayang ku kepadanya. Begitupun setiap hari
berlalu tanpa pernah aku bosan untuk lakukan hal yang sama setiap hari ketika
dia tutup matanya untuk jalani hari esok. Tetapi dia malah mengatakan “tolong
di biasaain aja, aku lebih suka kamu yang dulu”. Tersentuh hati ku atas
ucapannya “apa aku salah ea, bersikap lebih perhatian kepadanya, dibanding
dengan saat masih berteman?” ini pertanyaan yang slalu menjadi bayang pikiranku.
Berusaha bersabar dengan keadaan ini, berusaha memahami bahwa mungkin ini
adalah sebuah cobaan.
Aku jalani dengan menutup segala rasa perih
yang buat ku mulai kebingungan. Satu minggu hubungan ini berlalu, aku slalu
anggap ini biasa-biasa saja. Jalani dan sambil mencari dimana letak perbedaan
diriku yang sekarang dengan yang dulu, yang slalu dia pertanyakan. Hingga suatu
ketika disaat aku butuh seseorang untuk membagi kekesalanku saat jalani hari
ini, dia kembali mempertanyakan hal yang sama. Aku yang tak mengerti akan apa
yang membuat dia mengatakan hal tersebut perlahan menanyakan kebenaran.
Perlahan aku tanya dengan rasa sabar aku terus bertanya kepadanya. Hal yang
membuat diri ini tak mampu berkata yang dia katakan “aku bingung dengan rasa
yang aku rasakan”. Sempat aku terhenti untuk berfikir, menenangkan rasa yang
sudah siap meledak dan hancur berkeping-keping. Aku mulai bangkit dari rasa
yang ku rasakan, aku harus tegas jika tidak ingin ini berlanjut terlalu lama.
Ku coba yakinkan dia, namun itu tak berhasil.
Itu seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Begitu sulit bahkan sesuatu hal
yang tidak mungkin dilakukan. Dengan penuh rasa sesal aku akhiri hubungan ini.
Karena ku anggap aku akan menyakitinya jika terlalu lama memaksakan kehendak
ku.
Kecewa adalah hal yang paling dalam ku
rasakan, dia hanya bisa warnai hariku hanya sebentar. Namun aku coba untuk
hargai rasa yang dia punya terhadapku, bahwa di hatinya masih ada orang yang
dia sayangi yaitu mantannya yaitu tepatnya lelaki yang telah menduakannya.
Esok hari ketika sang mentari mulai tunjukkan
sinarnya dan mulai melukis keindahan, aku terbangun dengan sesuatu yang telah
hilang. Diam dan berfikir tentang akhir dari rasa yang ku punya yang berakhir
dengan tragis. Jujur diri ini sempat marah kepadanya, dan dia pun slalu meminta
maaf atas perih yang dia berikan. Akhirnya aku tersadar “aku takkan hilang
walau tak kau butuhkan, aku takkan pergi walau kau tlah sakiti, tapi aku akan
mencintaimu walau ada atau tanpa dirimu”.
Mulai menghirup nafas yang mungkin tak seperti
saat bersamamu. Melihatnya dari kejauhan, melihat senyumnya disana dan itu
kembali ku lakukan demi melihatnya
bahagia. Hanya menemani sebagai teman dan berusaha hanya sebagai teman
akan aku lakukan demi melihatnya bahagia dengan orang yang benar-benar dia
sayangi. Satu harapan yang bisa ku rangkai dalam setiap doa ku hanyalah “semoga
kelak dia bisa menyadari bahwa aku slalu menyayanginya”.
Ini kisahku ketika aku berumur 18 tahun dan
disaat umurku 19 tahun aku buat crita ini sebagai hadiah ulang tahunku.