Om swastyastu umat sedharma,
Dalam postingan kali ini tyang ingin membagikan sedikit artikel tentang makna Hari Raya Saraswati bagi masyarakat Hindu. Artikel ini tyang buat berdasarkan apa yang tyang pelajari. Mungkin artikel ini memiliki banyak kekurangan, atau mempunyai pendapat yang berbeda dengan pembaca, tyang sebagai penulis meminta maaf sekaligus meminta kritik dan sarannya. Atas semua perhatiannya, tyang ucapkan terimakasih
Om Santih, Santih, Santih Om
Om Santih, Santih, Santih Om
MAKNA SARASWATI BAGI MASYARAKAT
HINDU
Ilmu pengetahuan yang tumbuh dan mengalir seperti mata air, memberikan
berbagai keindahan kepada setiap makhluk yang hidup di dunia ini. Mengalir
seiring berjalannya waktu, perlahan mengalir mengikuti arah sungai hingga
memenuhi lautan yang luas. Begitulah perjalanan ilmu pengetahuan yang tiada
henti mengiringi setiap aktifitas dalam kehidupan dan begitulah awal munculnya
kata saraswati, melihat dari sangat berharganya ilmu pengetahuan bagi kehidupan
ini.
Mengenal lebih jauh dan mencoba memahami makna saraswati dalam
kehidupan masyarakat Hindu adalah salah satu bentuk dari menghargai tradisi
yang dimiliki oleh masyarakat Hindu. Saraswati berasal dari akar kata “saras”
dan “wati” dimana “saras” memiliki arti mata air, terus menerus atau sesuatu
yang terus menerus mengalir, sedangkan kata “wati” berarti memiliki. Jika
dirangkai secara singkat Saraswati berarti sesuatu yang memiliki sifat mengalir
terus-menerus seperti layaknya mata air.
Mengalir layaknya air, itu adalah inti dari kata Saraswati sebagai
sebuah pengandaian ilmu pengetahuan yang terus dibutuhkan meskipun terdapat
perbedaan keadaan pada setiap zaman. Air takkan berubah meski itu besok, dua
hari lagi ataupun beberapa tahun yang akan datang, begitupun ilmu pengetahuan
yang selalu dibutuhkan setiap saat. Anak kecil membutuhkan ilmu, anak muda
membutuhkan pengetahuan dan begitupun seterusnya takkan pernah berhenti.
Begitulah pandangan masyarakat Hindu terhadap ilmu pengetahuan dan terhadap
Hari Raya Saraswati.
Setiap enam bulan sekali umat Hindu memperingati hari turunnya ilmu
pengetahuan, yaitu tepatnya pada saniscara umanis watugunung atau pada hari
sabtu umanis wuku watugunung. Biasanya masyarakat Hindu di Bali pada hari ini
mengadakan persembahyangan di pura-pura. Bagi para siswa Hindu ketika pagi
datang mereka mengawali persembahyangan di sekolah masing-masing. Tak luput
dengan pegawai-pegawai di setiap kantor ikut melakukan persembahyangan sebagai
rasa syukur akan keindahan yang didapat karena ilmu pengetahuan.
Dentang-denting gambelan dan nyanyian keagamaan mulai terdengar merdu
sambut Hari Raya Saraswati. Begitu hikmat dan menanbah kesan spiritual mewarnai
pulau seribu pura ketika Hari Raya Saraswati tiba. Betapa berharga ilmu
pengetahuan dimata masyarakat Hindu, hingga mereka merelakan satu hari tidak
bekerja hanya untuk duduk bersila dan bersimpuh menghaturkan rasa syukur kepada
Dewi Saraswati sebagai penguasa ilmu pengetahuan dan seni.
Anak kecil dengan tubuh mungilnya berjalan dengan memakai busana adat
bali berjalan dengan senyum manis di pipi untuk menuju ke sekolah. Langkah
kecil dengan perlahan melangkah untuk ikut menunjukkan syukurnya kepada Dewi
Saraswati, menjadi awal perkembangan ilmu pengetahuan yang berbudi luhur.
Betapa tidak anak kecil yang belum mengerti banyak tentang ilmu pengetahuan, dengan
setia datang, berdoa dan bersyukur kepada Dewi Saraswati, ini bisa kita gunakan
sebagai cerminan terhadap diri sendiri. Tidak ada salahnya meniru sifat dari
anak kecil, jika pada saat itu sifat dewasa terasa kaku dan penuh perhitungan.
Dan ini adalah awal yang baik bagi penerus kecil untuk belajar menghargai apa
yang telah diberikan oleh Tuhan.
Seiring dengan berjalannya perkembangan zaman, makna saraswati di
kalangan anak muda perlu ditingkatkan. Terlalu tipisnya iman dibandingkan
logika pemikiran manusia saat ini, membuat Hari Raya Saraswati hanya berjalan
dan berlalu begitu saja. Tak pernah ada lagi pembenahan diri, tak pernah
menghargai siapa yang memberi namun selalu menerima apa yang diberikan. Teori
mungkin mudah untuk mempelajari, namun apalah arti sebuah teori jika dalam
penerapannya selalu dilupakan.
Terjatuh pada kubangan lumpur, memang bagi beberapa binatang lumpur itu
bagus, tapi ingat kita bukan binatang, kita adalah manusia yang mempunyai
kelebihan dibanding binatang dan tumbuhan. Lumpur disini diartikan sebagai
segala dosa dan khilaf yang manusia lakukan atas dasar penyalahgunaan ilmu
pengetahuan. Kenapa kita tidak mengucapkan kata sesal kita atas segala hal yang
kita lakukan karena penyalahgunaan ilmu yang telah beliau berikan kepada kita?
Kita hanya duduk bersila dan bersimpuh dengan pakaian mewah dan aksesoris yang
indah dan memohon agar bertambah pintar sehingga mudah mendapatkan kekayaan,
tapi pada kenyataannya, kepintaran yang kita dapat hanya untuk membohongi orang
bodoh, menipu banyak orang untuk membuat kita tersenyum. Apalah arti ilmu
pengetahuan yang mulia jika perbutan manusia saat ini hanya bisa membuat dosa
dan tidak mau menyadari dosa.
Manusia terlahir membawa karmanya masing-masing, hidup untuk menebus
karma. Atas dasar itu Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam wujud Dewi Saraswati
turun untuk memberikan ilmu pengetahuan agar manusia dengan pengetahuannya
dapat mencari jalan untuk menebus karma yang terdahulu. Namun pada kenyataannya
berlawanan arah dengan tujuan tersebut, memang di dunia ini atau di Bhuana
Agung ini Rwa Bhineda harus berada dalam satu garis keseimbangan, namun jangan
atas dasar itu manusia meninggalkan sifat kedewataannya dan beralih kepada
sifat keraksasaan. Agama Hindu mungkin sudah mengantisipasi hal tersebut dengan
Upacara Potong Gigi sebagai simbul menghilangkan sifat keraksasaan manusia.
Tapi mungkin manusia sekarang sudah kebal dengan hal tersebut. Hanya bisa
menjalani upacaranya tanpa tahu apa makna yang terkandung di dalamnya.
Dengan introspeksi diri orang akan bisa berjalan di jalan yang benar.
Introspeksi diri mungkin tidak lagi bahasa yang aneh untuk diterka oleh telinga
kita, namun apa arti introspeksi diri disini? Itu hanya sekedar rasa yang ada
dalam diri, yang tumbuh dari diri sendiri sebagai tanda sebuah penyesalan yang
telah dilakukan sehingga dengan rasa tersebut bisa membuat seseorang berjalan
sesuai dengan ajaran Dharma. Ini bukan sesuatu yang sulit diingat, namun ini
adalah sesuatu yang sulit dilakukan. Kenapa bisa seperti itu? Karena manusia
belum bisa memerangi enam musuh yang ada dalam dirinya, kita sebut enam musuh
itu dengan Sad Ripu.
Melihat perayaan Hari Raya Saraswati saat ini hanya berdasarkan
alakadarnya dan alasadarnya, yang hikmat berdoa hanyalah sulinggihnya saja,
sedangkan pemedek yang duduk di belakang sulinggih bercanda gurau sambil
memajangkan Hp barunya. Tidakkah ingat untuk apa kita berada di sana? Tidakkah
ingat hari apa sekarang? Yang diingat adalah menyombongkan diri dengan harta
yang dimilikinya. Teragis memang tapi inilah kenyataannya.
Mari kita sebagai umat Hindu menyadari kelemahan kita, mulai meletakkan
ego kita, bangun Bali ini dengan kejujuran, bangun kerukunan dengan cara tidak
membeda-bedakan status sosial. Jangan biarkan kita termakan oleh sifat
keraksasaan kita, yang pada akhirnya akan membuat kita menderita. Rayakanlah
Hari Saraswati ini walau hanya dengan bersila atau bersimpuh dengan sebuah kesederhanaan.
Tuhan tidak inginkan sesuatu yang mewah, Tuhan tidak inginkan kita berpakaian
mewah saat menyembahnya, hanya saja manusia yang mengatur pola pikirnya untuk
selalu terlihat lebih dibanding yang lainnya. Tuhan hanya inginkan kita duduk
dengan hati yang tulus iklas saat menyembahnya. Mari kita bersujud sebagai
sesama mahkluk yang mempunyai kelebihan dibanding dengan yang lainnya dan
memiliki kekurangan yang sama dengan mahkluk yang lainnya, bersama sama
menyambut Hari Raya Saraswati sebagai hari turunnya ilmu pengetahuan. Cobalah
untuk bersujud dan berusaha menyadari segala bentuk dosa yang telah kita
lakukan dengan cara menyalahgunakan segala pemberian Beliau dan memohon
petunjuk agar hal tersebut tidak terulang kembali.