• TEMUKAN SAYA DI FACEBOOK
    Ini sebagai bentuk pertemanan antara saya dan pengunjung semuanya, Trimakasih atas kunjungannya.

Wednesday, November 23, 2011

Gua Gajah-Gianyar


Gua Gajah
Masih di Kabupaten Gianyar, kita dapat menjumpai daerah tujuan wisata yang dinamakan Gua Gajah. Gua Gajah ini terletak di Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatu, Kabupaten Gianyar, Bali. Meski namanya Gua Gajah, di lokasi ini sama sekali tak terdapat binatang gajah. Nama Gua Gajah dipilih karena di tempat ini banyak patung Dewa Ganesha. Patung berkepala gajah ini merupakan dewa pengetahuan umat Hindu.
Disini dulu  adalah  tempat bagi kaum Brahmana mangadakan Tapa Berata. Bilamana anda masuk ke dalam gua, dapat anda lihat di sebelah  kiri kanan dan di Ujung dalam gua terdapat  tempat-tempat strategis seperti tempat untuk mengadakan yoga semadi. Di luar area  Goa terdapat patung Ganeca dan permandian penduduk desa yang masih digunakan sampai sekarang.

Nah, mengenai sejarah ditemukannya Pintu masuk Gua Gajah ini yaitu pertama kali ditemukan oleh L.C. Heyting, seorang pejabat Belanda, pada tahun 1923. Saat ditemukan pintu gua pada saat itu, pintu gua ini berbentuk T dengan dua sisi pemujaan. Di bagian barat terdapat arca Ganesha, sedangkan di bagian timur ada arca Trilingga dan juga beberapa ceruk untuk pertapaan. Pada tahun 1951, barulah pengelolaan situs purbakala ini diambil alih pemerintah.
Pemandian Yang ada di Gua Gajah
Keunikan lain yaitu di dalam kompleks seluas hampir 2,4 hektare ini terdapat pura untuk beribadat umat Hindu sekaligus ceruk tempat pertapaan umat Buddha. Di bagian dinding tertulis, gua sudah dibangun sejak abad ke 11. Sedangkan candi Buddha-nya sudah ada sejak abad kedelapan sebelum Masehi. Di dalam kompleks ini juga terdapat tempat pemandian yang terletak tepat di tengah gua. Hingga kini air yang keluar dari perut enam buah patung yang ada di dalamnya tetap digunakan untuk upacara suci agama Hindu dan Buddha.
Di Pura Goa Gajah ini terdapat  tiga tipe bangunan keagamaan yang berbeda-beda. Yang pertama terdapat bangunan keagamaan Hindu pada saat berkembangnya Hindu Siwa Pasupati, yaitu dengan ditandai dengan bukti-bukti adanya Arca Tiga Lingga yang masing-masing Lingga dikelilingi oleh delapan Lingga kecil-kecil. Yang kedua terdapat  bangunan keagamaan yang bercorak Siwa Siddhanta dengan ditandai dengan bukti adanya pelinggih-pelinggih di sebelah timur yang agak keselatan dari Goa Gajah. Dan yang ketiga yaitu terdapat bangunan keagamaan Buddha yang bercorak Buddha Mahayana. Dari adanya tiga tipe bangunan tersebut maka Gua Gajah dipakai sebagai simbol toleransi dan kerukunan umat beragama (berlainan Agama).
Yang patut dikaji saat ini adalah sikap toleransi leluhur orang Bali pada zaman lampau. Agama Hindu dengan sekte Siwa Pasupati memang ada perbedaannya dengan agama Hindu dengan Siwa Siddhanta. Tetapi substansi keagamaan Hindu tersebut adalah sama bersumber pada Weda. Hakikat sejarah munculnya agama Buddha pun berasal dari proses pengamalan ajaran suci Weda. Ajaran Hindu Siwa Pasupata menekankan pada arah beragama ke dalam diri sendiri. Arah beragama Hindu itu ada dua yaitu Niwrti Marga dan Prawrti Marga. Niwrti Marga adalah arah beragama dengan memprioritaskan penguatan hati nurani, sedangkan Hindu Siwa Siddhanta lebih menekankan pada Prawrti Marga dengan orientasi beragama ke luar diri. Namun bukan berarti tidak menggunakan cara Niwrti. Hanya perbedaan pada penekanannya saja.
Cara Niwrti ditempuh untuk mencapai keadaan yang ”Pasupata”. Pasu artinya hawa nafsu kebinatangan. Sedangkan kata Pata berasal dari kata Pati artinya Raja atau penguasa. Pasupata atau Pasupati artinya proses pemujaan Tuhan untuk dapat menguasai nafsu yang identik dengan sifat-sifat hewan. Barang siapa yang mampu menguasai nafsu yang identik dengan sifat-sifat hewan itu dialah yang akan dapat mencapai Siwa secara bertahap seperti yang dinyatakan dalam Wrehaspati Tattwa 50. Kalau sudah dapat menguasai diri sendiri maka proses hidup selanjutnya akan lebih lancar dalam menempuh cara Prawrti Marga.
Agama Hindu sekte Siwa Siddhanta seperti yang dianut oleh umat Hindu di Bali pada umumnya memiliki tujuan yang sama dengan Hindu Siwa Pasupata itu. Bedanya hanya penekanannya saja. Kata Siwa Siddhanta berarti sukses mencapai Siwa yang terakhir atau tertinggi. Jadinya dalam satu sekte saja agama Hindu memberikan kebebasan pada umatnya untuk memilihnya. Di Pura Goa Gajah, kedua cara itu dapat hidup berkelanjutan dan umat tidak dipaksa harus ikut ini atau itu.
Umat dipersilakan secara mandiri untuk memilihnya atau memadukan semua cara tersebut. Ini artinya penganut Siwa Siddhanta tidak menganggap penganut Siwa Pasupata sebagai penganut sesat. Mereka menyadari substansi ajaran agama Hindu yang mereka anut sama yaitu berdasarkan Weda. Demikian juga sebaliknya yang menganut Siwa Pasupata tidak menganggap penganut Siwa Siddanta sebagai orang lain. Ini artinya umat Hindu pada zaman dahulu itu benar-benar menghormati privasi beragama sebagai sesuatu yang dijunjung tinggi.
Sikap keagamaan umat Hindu yang dicerminkan oleh umat Hindu di masa lampau di Pura Goa Gajah dan sesungguhnya pada peninggalan Hindu kuno yang lainnya di Indonesia. Tentunya akan sangat janggal kalau pada zaman sekarang ada misalnya umat yang bersifat negatif pada orang lain yang berbeda sistem penekanan beragamanya. Umat Hindu di masa lampau terutama para pemimpinnya benar-benar sudah memiliki jiwa besar dalam mengelola perbedaan. Karena perbedaan itu merupakan suatu kenyataan yang universal. Artinya, perbedaan itu akan selalu ada sepanjang masa, di mana pun dan kapan pun. Akan menjadi sesuatu yang tidak produktif kalau ada yang memaksakan agar mereka yang berbeda ditekan dengan cara-cara pendekatan kekuasaan. Menyikapi perbedaan seperti itu sangat tidak sesuai dengan ajaran agama Hindu dan nilai-nilai universal yang dianut oleh dunia dewasa ini.
Demikian juga halnya dengan peninggalan keagamaan Buddha Mahayana di Pura Goa Gajah yang jauh lebih awal berada di Bali. Munculnya Sidharta Gautama sebagai Buddha diawali oleh adanya dua aliran Hindu yaitu Tithiyas dan Carwakas. Aliran Tithiyas dan Carwakas sama-sama meyakini bahwa penderitaan itu karena keterikatan manusia pada kehidupan duniawi yang tidak langgeng ini. Mereka berbeda dalam hal cara mengatasi keterikatan nafsu tersebut. Carwakas memandang agar nafsu tidak mengikat maka nafsu itu harus dituangkan bagaikan menuangkan air di gelas. Dengan nafsu itu terus dipenuhi sesuai dengan gejolaknya maka nafsu itu akan habis dan lenyap maka manusia pun akan bebas dari ikatan hawa nafsu. Sebaliknya aliran Tithyas berpendapat bahwa nafsu itu harus dimatikan dengan menghentikan fungsi alat-alatnya. Agar mata tidak ingin melihat yang baik-baik dan indah-indah saja maka mata dibuat buta dengan cara melihat mata hari yang sedang terik. Lidah dibuat sampai tidak berfungsi. Ada yang sampai membakar kemaluannya agar nafsu seksnya hilang.

Kedua aliran itu membuat umat menderita. Dalam keadaan seperti itulah muncul Sidharta Gautama yang telah mencapai alam Buddha memberikan pentunjuk praktis beragama. Ajarannya adalah Sila Prajnya dan Samadhi. Sila berbuat baik sesuai dengan suara hati nurani. Suara hati nurani adalah suara Atman. Atman adalah bagian dari Brahman. Teknis berbuat baik itu didasarkan pada Prajnya artinya ilmu pengetahuan. Dalam berbuat baik hendaknya bersikap konsisten dengan konsentrasi yang prima. Itulah Samadhi. Inilah inti wacana Sidharta Gautama dalam menyelamatan umat dari perbedaan yang dipertentangkan itu.
Setelah seratus tahun Sidharta mencapai Nirwana barulah wacana sucinya itu dikumpulkan menjadi tiga keranjang sehingga bernama Tri Pitaka. Jadinya keberadaan agama Buddha di Pura Goa Gajah substansinya tidaklah berbeda apalagi berlawanan dengan ajaran Hindu Siwa Pasupata maupun Siwa Siddhanta. Tiga corak keagamaan yang ada di Pura Goa Gajah itu memang berbeda tetapi perbedaan itu terletak pada cara atau metodenya saja. Substansi ketiga corak keagamaan Hindu dan Buddha yang ada di Pura Goa Gajah itu sama-sama menuntun umat manusia untuk mencapai hidup bahagia dan sejahtera di dunia dan mencapai alam ketuhanan di dunia niskala. Keberadaan ciptaan Tuhan ini memang Sama Beda. Namun yang penting adalah bagaimana cara memposisikan persamaan dan perbedaan tersebut. Kalau persamaan dan perbedaan itu dimanajemen dengan baik maka semuanya akan lebih produktif mendambakan hidup rukun dan damai mencapai kehidupan yang bahagia dan sejahtera berdasarkan kebenaran dan kesucian.
Umat Hindu khususnya dan umat beragama pada umumnya ada baiknya kita kembali renungkan berbagai warisan keagamaan yang berada di Pura Goa Gajah itu. Kerukunan dan toleransi untuk saling menghargai eksistensi pihak lain yang berbeda sangat jelas tercermin di Pura Goa Gajah. Ke depan umat Hindu harus lebih berpendidikan kalau dibandingkan dengan umat di masa lampau. Seyogianya umat Hindu dewasa ini lebih mampu menunjukkan kelebihannya dalam mengelola perbedaan. Janganlah justru terbalik justru perbedaan dijadikan ajang untuk saling bermusuhan.
Bagi anda yang ingin melihat-lihat  keberadaan dari Gua Gajah ini anda cukup mengeluarkan uang sebesar Rp 6.000, maka anda bisa bebas menikmati peninggalan bersejarah ini.
0 Comments
Tweets
Komentar

No comments:

Post a Comment