• TEMUKAN SAYA DI FACEBOOK
    Ini sebagai bentuk pertemanan antara saya dan pengunjung semuanya, Trimakasih atas kunjungannya.

Saturday, December 17, 2011

Apakah karena makin besar Upacara Yadnya yang dilakukan maka makin besar pula Pahalanya?

Dalam kehidupan sehari-hari kita sering melihat pelaksanaan yang diadakan besar-besaran di suatu daerah khususnya di Bali. Dalam kehidupan sehari-hari pasti pernah terpikirkan oleh pikiran kita bahwa apakah karena makin besar upakara Yadnya itu dilaksanakan maka makin besar pahalanya? Mengapa hal ini bisa terjadi? Lalu apa sebenarnya syarat sebuah Yadnya yang dapat dikatakan baik (Satwika)?

Nah mari kita bahas bersama. Jika kita mencoba melihat Yadnya berdasarkan nilai materi atau jenis bebantenan, suatu yadnya digolongkan sebai berikut:

Yang pertama yaitu Nista Yadnya yang mempunyai arti yadnya yang berada pada tingkatan terkecil. Di dalam Nista Yadnya ini masih dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu Nistaning nista (terkecil dari yang kecil), madyaning nista (tingkatan sedang dari yang kecil), Utamaning Nista (tingkatan terbesar dari yang kecil).


Kemudian yang kedua yaitu Madya Yadnya yaitu Yandnya tingkatan sedang yang dapat dibagi lagi yaitu Nistaning Madya (tingkatan terkecil dari yang sedang), Madyaning madya (tingkatan sedang dari yang sedang), dan Utamaning madya (tingkatan terbesar dari yang sedang).

Dan yang terakhir yaitu Utama Yadnya yaitu yadnya tingkatan besar yang dapat dibagi menjadi Nistaning utama (tingkatan terkecil dari yang besar), Madyaning Utama (tingkatan sedang dari yang besar), dan Utamaning Utama (tingkatan terbesar dari yang besar).
Jika kita meihat dalam kehidupan sehari-hari terdapat penggunaan istilah lama yang sering membawa pengertian keliru di masyarakat. Dimana seolah-olah perkataan "Nista" dikonotasikan sebagai "Hina" sedangkan perkataan "Utama" dikonotasikan sebagai "Mulia". Dengan pengertian yang keliru itu, umat Hindu cenderung memilih kelompok Utama, karena menganggap bahwa itulah jenis persembahan yang tertinggi.

Akibatnya terjadi pemaksaan diri untuk berupacara, bisa dalam bentuk mengumpulkan uang secara habis-habisan misalnya dengan menjual tanah, rumah, kendaraan, atau meminjam uang melebihi kemampuan membayar kembali. Sebaliknya bagi mereka yang kurang mempunyai kemampuan keuangan lalu memilih tidak berupacara sama sekali, dari pada menggunakan jenis upakara yang Nista.

Pengertian yang keliru ini perlu diluruskan dengan mengacu pada lontar-lontar tentang Upakara, misalnya Yadnya Prakerti, Purwa Gumi Kemulan, Purwa Gama Sesana, Siwa Tattwa, Sanghyang Aji Swamandala, dan lain-lain. Didalam lontar-lontar itu disebutkan bahwa jenis upakara agar disesuaikan dengan kemampuan nyata, yang diistilahkan sebagai : Desa - Kala - Patra. 
Pengertian "Desa" adalah saran untuk menggunakan bahan-bahan upakara dari hasil tanam-tanaman yang tumbuh setempat. Artinya tidak menggunakan bahan upakara yang sulit diperoleh dan tumbuh ditempat yang jauh. Pengertian "Kala" adalah saran untuk melangsungkan upacara dalam waktu yang cukup sesuai dengan aktivitas kehidupan. Misalnya di zaman penduduk banyak yang hidup dari sektor agraris, maka "dewasa" berupacara besar seperti Pitra Yadnya selalu jatuh pada musim kemarau, dimana pekerjaan di sawah sudah berkurang. Dengan pengertian ini maka jika ditinjau keadaan sekarang dimana penduduk sudah banyak beralih ke bidang profesi diluar sektor agraris, maka waktu yang tersedia nampaknya makin sempit. Oleh karena itu dewasa ini diusahakan agar lama waktu berupacara dapat lebih disingkat. Pengertian "Patra" adalah saran untuk menggunakan dana yang tersedia sebagai kemampuan riil bagi pelaksanaan upacara; artinya jangan memaksakan diri. Bila kemampuan keuangan kecil, gunakan jenis upakara yang alit, bila kemampuan keuangan besar, gunakan jenis upakara yang ageng, dan bila ada di posisi medium, gunakan jenis upakara yang madya.

Pemilihan jenis upakara yang alit, madya atau ageng haruslah didasari oleh pengertian yang bijaksana, dimana upakara yang alit tidaklah berarti lebih rendah nilai pahalanya dari pada yang ageng, dan demikian sebaliknya. Nilai pahala yang tinggi dari suatu upacara diperoleh bilamana Tri Manggalaning Yadnya dapat menyelenggarakan upacara yang "Satvika".

Yang dimaksud dengan Tri Manggalaning Yadnya adalah tiga kelompok penyelenggara upacra yaitu : Sulinggih sebagai pemimpin upacara, Sarati, yaitu tukang banten sebagai penyedia upakara, dan Sang Yajamana, yaitu yang punya kerja atau hajat. Upacara yang Satvika mempunyai unsur-unsur :
1. Pengorbanan yang tulus ikhlas
2. Bhakti kepada Hyang Widhi
3. Damai,tentram, bahagia,
4. Mengerti akan makna dan tujuan upacara yang diselenggarakan.

Jika kita melihat Yadnya dari segi kualitas yadnya, maka Yadnya tersebut dapat dibedakan atas Satwika Yadnya, Rajasika Yadnya, dan Tamasika Yadnya. Satwika Yadnya yaitu yadnya yang dilaksanakan atas dasar utama yaitu sradha bakti, lascarya, dan semata melaksanakan sebagai kewajiban. Apapun bentuk yadnya yang dilakukan seperti persembahan, pengendalian diri, punia, maupun jnana jika dilandasi bakti dan tanpa pamrih maka tergolong Satwika Yadnya. Yadnya dalam bentuk persembahan atau upakara akan sangat mulia dan termasuk satwika jika sesuai dengan sastra agama, daksina, mantra, Annasewa, dan nasmita.

Nah jika dikaitkan Satwika Yadnya dengan cerita Mahabharata dikisahkan tentang peranan daksina dalam sempurnanya sebuah Yadnya. Berikut sedikit penggalan dari cerita tersebut :

” Ciri-ciri upacara itu sukses menurut Sri Krishna adalah apabila turun hujan bunga dan terdengar suara genta dari langit. Nah, ternyata setelah upacara dilangsungkan tidak ada suara genta maupun hujan bunga dari langit. Terhadap pertanyaan Darmawangsa, Sri Krishna menjelaskan bahwa tampaknya tiadak ada "daksina" untuk dipersembahkan kepada pendeta. Kalau upacara agama tidak disertai dengan daksina untuk pendeta, berarti upacara itu menjadi milik pendeta.

Dengan demikian yang menyelenggarakan upacara berarti gagal melangsungkan yadnya. Selain itu gagal atau suksesnya yadnya ditentukan pula oleh sikap yang beryadnya. Kalau sikap ini. tidak baik atau tidak tulus menerima pendeta sebagai pemimpin upacara maka gagalah upacara itu. Sikap dan perlakuan kepada pendeta yang penuh hormat dan bhakti merupakan salah satu syarat yang menyebabkan upacara sukses.

Setelah mendengar wejangan itu, Drupadi segera menyiapkan Daksina untuk pendeta. Setelah pendeta mendapat persembahan daksina, tidak ada juga suara genta dan hujan bunga dari langit. Melihat kejadian itu, Sri Krishna memastikan bahwa di antara penyelenggara yadnya ada yang bersikap tidak baik kepada pendeta. Atas wejangan Sri Krishna itu, Drupadi secara jujur mengakui bahwa ia telah mentertawakan walau dalam hati, yaitu pada saat pendeta menikmati hidangan tadi.

Memang dalam agama Hindu, Pendeta mendapat kedudukan yang paling terhormat bahkan dipandang sebagai perwujudan Dewa. Karena itu akan sangat fatal akibatnya kaliu ada yang bersikap tidak sopan kepada pendeta.

Beberapa saat kemudian setelah Drupadi berdatang sembah dan mohon maaf kepada pendeta, jatuhlah hujan bunga dari langit dan disertai suara genta yang nyaring membahana. lni pertanda yadnya Aswamedha itu sukses.”

Rajasika Yadnya yaitu yadnya dilakukan dengan motif pamrih serta pamer kemewahan, pamer harga diri, bagi yang melakukan punia berharap agar dirinya dianggap dermawan. Seorang guru/pendarmawacana memberikan ceramah panjang lebar dan berapi-api dengan maksud agar dianggap pintar; semua bentuk yadnya dengan motif di atas tergolong rajasika yadnya. Seorang yang melakukan tapa, puasa tetapi dengan tujuan untuk memperoleh kekayaan, kesaktian fisik, atau agar dianggap sebagai orang suci juga tergolong yadnya rajasik.

Tamasika Yadnya yaitu yadnya yang dilaksanakan tanpa sastra, tanpa punia, tanpa mantra dan tanpa keyakinan. Ini adalah kelompok orang yang beryadnya tanpa arah tujuan yang jelas,hanya ikut-ikutan. Contoh orang-orang yang tegolong melaksanakan tamasikan yadnya antara lain orang yang pergi sembahyang ke pura hanya ikut-ikutan, malu tidak ke pura karena semua tetangga pergi ke pura, orang gotong royong di pura atau di tempat umum juga hanya ikut-ikutan tanpa menyadari manfaatnya. Termasuk dalam katagori ini adalah orang yang beryadnya karena terpaksa. Terpaksa maturan karena semua orang maturan. Terpaksa memberikan punia karena semua orang melakukan punia. Terpaksa puasa karena orang-orang berpuasa. Jadi apapun yang dilaksanakannya adalah sia-sia, tiada manfaat bagi peningkatan karmanya.



0 Comments
Tweets
Komentar

No comments:

Post a Comment