Keunikan dari
pemakaman yang terdapat di desa Terunyan-Kintamani memberikan daya tarik
tersendiri bagi wisatawan yang datang ke Bali. Pada kesempatan ini saya akan
membagikan tentang proses pemakaman, pembagian makam menurut cara kematian dan
umur jenasah, serta kepercayaan-kepercayaan dari masyarakat Trunyan terhadap
persepsi jati diri.
Yang pertama
dibahas yaitu proses pemakaman Menurut tradisi masyarakat Trunyan. Menurut
tradisi yang ada kuburan di desa Trunyan dibagi dalam tiga klasifikasi
berdasarkan umur orang yang meninggal, keutuhan jenasah dan cara penguburan.
- Kuburan yang pertama yang disebut Kuburan utama adalah kuburan yang dinggap paling suci dan paling baik. Jenasah yang dikuburkan pada kuburan suci ini hanyalah jenasah yang jasadnya utuh, tidak cacat, serta jenasah yang proses meninggalnya dianggap wajar, bukan kerena bunuh diri atau kecelakaaan. Di setra wayah ini, terdapat 7 liang lahat yang terbagi menjadi 2 kelompok. Dua liang untuk penghulu desa yang jenasahnya tanpa cacat terletak di bagian hulu dan sisanya lima liang berjejer untuk masyarakat biasa. Jika semua liang sudah penuh dan ada lagi jenasah baru yang akan dikubur, jenasah yang lama dinaikkan dari lubang dan jenasah barulah yang kemudian menempati liang tersebut. Jenasah lama ditaruh begitu saja di pinggir lubang. Jadi jangan kaget jika di setra wayah berserakan tengkorak-tengkorak manusia yang tidak ditanam maupun dibuang.
- Kuburan yang kedua disebut kuburan muda, yang khusus diperuntutkan bagi bayi dan orang dewasa yang belum menikah. Namun tetap dengan syarat bahwa jenasah tersebut harus utuh dan tidak cacat.
- Sedangkan kuburan yang ke tiga disebut setra bantas, khusus untuk janasah cacat dan meninggal karena “salah pati” ataupun “ulah pati” (meninggal secara tidak wajar).
Dari ketiga
jenis kuburan tersebut yang paling unik dan menarik adalah kuburan utama atau
kuburan suci (setra wayah). Kuburan ini berlokasi di sekitar 400 meter di
bagian utara desa dan dibatasi dengan tonjolan kaki tebing bukit. Untuk membawa
jenasah ke kuburan ini harus menggaunakan sampan kecil khusus jenasah yang
disebut Padau. Meski disebut dikubur, namun cara penguburannya tergolong unik,
yaitu dikenal dengan istilah “Mapasah”.
Mapasah adalah
penguburan Jenasah yang telah diupacarai menurut tradisi setempat, yang diletakkan
begitu saja di atas lubang sederhana 20 cm. Sebagian badannya (dari bagian dada
ke atas) dibiarkan terbuka tidak terkubut tanah. Jenasah tersebut hanya
dibatasi dengan “ancak saji” yang terbuat dari anyaman bambu berbentuk kerucut yang digunakan untuk
memagari jenasah.
Selanjutnya
masih dalam proses penguburan dan tempat pemakamanm, secara spesifik yaitu terkait dengan kepercayaan orang trunyan tentang
pemakaman jenasah menurut penyakit dan kematian yang meliputi:
- Meletakkan jenasah di atas tanah di bawah udara terbuka yang disebut dengan istilah “mapasah”. Orang orang yang dimakamkan dengan cara mapasah adalah mereka yang pada waktu matinya termasuk orang-orang yang telah berumah tangga, orang-orang yang masih bujang dan anak kecil yang gigi susunya telah tanggal.
- Sedangkan yang dikebumikan atau dikubur mereka yang cacat tubuhnya atau pada saat mati terdapat luka yang belum sembuh seperti misalnya terjadi pada tubuh penderita cacar, lepra, dan lain-lainnya. Orang-orang yan mati dengan tidak wajar seperti dibunuh atau bunuh diri juga dikubur. Anak-anak kecil yang gigi susunya belum tanggal juga dikubur saat meninggal.
Keunikan lain
adalah peninggalan purbakala (Prasasti Trunyan. Tersebutlah pada tahun saka 823
(891 Masehi), Raja Singhamandawa mengizinkan penduduk Turunyan (trunyan) membangun meru. Meru berupa bangunan bertingkat tujuh ini
merupakan tempat pemujaan Bhatara Dan Tonta. Meru bertingkat tujuh ini
dinamakan Pura Turun Hyang. Di dalamnya tersimpan Arca batu Megalitik yang
dipercaya dan disakralkan masyarakat Trunyan sebagai Arca Da Tonta. Dikenal
pula sebagai Pura Pancerin Jagat sebagai istana Ratu Gede Pancering Jagat.
Bagian kedua
dari pembahasan kali ini yaitu tentang kepercayaan Penduduk Trunyan dalam mempersepsikan
diri dan jati diri mereka dalam dua versi. Persepsi tersebut yaitu :
- Versi pertama, orang Trunyan adalah orang Bali turunan, kerena mereka percaya bahwa leluhur mereka ‘turun’I langit ke bumi Trunyan. Terkait dengan versi ini orang Trunyan mempunyai dongeng suci mengenai asal-usul penduduk Trunyan adalah seorang Dewi dari Langit.
- Versi Kedua, orang Trunyan hidup dalam system ekologi dengan adanya pohon taru menyan, yaitu pohon yang menyebarkan bau-bauan wangi. Dari perpaduan kata “Taru” dan “Menyan” berkembang kata Trunyan. Yang dipakai nama desa dan nama penduduk desa tersebut.
Bali Aga, edisi 23 Desember s/d 29 Desember 2010 dengan beberapa editan.